Sang Maestro Musik Gambus PROF. H. AHMAD BAQI
“Sahabat
Biarlah daku pergi
Berjalan menuju
Pangkalan …”
Entah siapa yang disebut sahabat oleh Almukarram Almarhum Prof. H Ahmad Baqi. Bait lagu “Tersiksa Dalam Kenangan” di atas merupakan lagu terakhir yang diciptakan maestro musik religi Sumatera Utara. Lagu itu diciptakan Ahmad Baqi, sesaat sebelum ia mengambil sajadahnya untuk shalat tahajud malam di awal Syawal tahun 1999.
Menjelang subuh di bulan Syawal kedua, 20 Januari 1999, Ahmad Baqi meminta anak-anaknya untuk mengantarkannya ke tempat tidur. Di peraduan itulah Ahmad Baqi menjumpai Sang Maha Indah. Anak-anaknya menemukan syair lagu lengkap dengan partiturnya itu, di atas meja kerja Ahmad Baqi, di pondoknya yang terletak di belakang rumah utama di jalan Garu I Medan itu. “Sepertinya ayah sudah tahu kalau ia akan berpulang,” kata Ahmad Syauqi Ahmad Baqi, anaknya yang keenam.
Di Brunei, Ahmad Baqi ditawari untuk tinggal di sana. Fasilitas apa pun akan diberikan pemerintah Brunei bila Ahmad Baqi mau menularkan ilmu dan berkreasi di negeri kaya minyak itu. Tawaran itu ditampik Ahmad Baqi dengan halus kepada Awang Haji Tua, seorang pengurus Kerajaan Brunei yang datang kepadanya pada 1982. Ahmad Baqi sendiri datang ke Brunei ketika Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah sedang berulang tahun yang ke-37. “Lebih baik hujan batu di negeri daripada hujan emas di negeri orang,” kata Ahmad Baqi waktu itu. Tidak ada satupun yang bisa mengukur kadar nasionalisme yang dimiliki Ahmad Baqi.
Maestro musik padang pasir dunia asal Mesir, Ummi Kaltsum pun mengetahui sosok Ahmad Baqi. Pesuling itu juga meminta Ahmad Baqi untuk mengajar musik padang pasir dan pindah ke Malaysia. Ahmad Baqi menolak mandah. Tapi Mesir tetap memperhatikan Ahmad Baqi. Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir, memberinya hadiah berupa Ganun, alat musik petik khas Mesir yang mempunyai 78 senar. Ganun itu diserahkan di kampus Universitas Islam Sumatera Utara. Ganun itu dikuasai Ahmad Baqi hanya dalam waktu setahun. Itu di samping keahliannya memainkan dengan fasih alat musik lain seperti biola, gambus, dan akordion.
Seribu Lagu
Ahmad Baqi sendiri dikatakan anaknya mengaku mempunyai patron dan akar musik padang pasir dari Mesir. Akar Mesir rupanya tidak mudah untuk dicerna oleh personil musik Ahmad Baqi sendiri. Zubeiruddin, pemain keyobard Ahmad Baqi, mengaku masih susah untuk membawakan lagu “Al Wathan (Negeri)”. “Musiknya asli diambil dari Mesir,” kata Zubeir.
Lagu-lagu Ahmad Baqi memang kental dengan unsur religi, terutama ruh Islam. Simaklah lirik “Selimut Putih” yang fenomenal itu,
Bila Izrail datang memanggil
Jasad terbujur di pembaringan
Sekujur tubuh akan menggigil
Sekujur badan akan kedinginan
Tapi, kontemplasi yang dilakukannya bukan hanya dari segi pemahaman terhadap kandungan Islam. Optimisme disertai pengendalian diri juga digariskan dalam lagu-lagunya. Dengarlah dalam lagu “Cita-cita” yang dipopulerkan Hasmidar (Asmidar, red) Darwis tahun 1970.
Kala berkayuh menuju pantai
Kerap bersua ragam halangan
Tidak semua hasrat kan sampai
Kadang terbentur di tengah jalan
…
Yakinlah bila bulan telah sabit
Esok lusa pasti purnama…
Untuk soal nada, Ahmad Baqi sendiri dipengaruhi kuat oleh nada-nada lagu Al-Quran yang disebut qiraat. Lagu-lagu itu seperti Bayati, Tsiqah, Raas, Nahwan, Hijaj, Husaini, dan Zakarha. “Memang syarat utamanya kita mesti menguasai nada-nada lagu Alquran,” kata Sasmidar Effendi, vokalis El Surayya, yang hampir 30 tahun setia mengikuti orkes Ahmad Baqi.
Ahmad Baqi merupakan seniman sejati. Untuk total di musik, ia mengambil pensiun dini dari jabatan Kepala Perbekalan PLN tahun 1975. Ia kemudian menceburkan diri di pondok musik yang sudah didirikannya sejak tahun 1970. Dua tahun sebelumnya, 1968, ia merangkum banyak grup-grup musik dan orkes melayu Padang Pasir di Medan, seperti Al Wardah, Al Wathan, En Nasiim, Syauthun Niil, dan lain-lain, dalam sebuah organisasi El Qawaqib.
Lebih dari itu, ia sering memendam diri dalam pondok musiknya dan tidak bisa diganggu oleh siapapun. Dari pondok itu juga Ahmad Baqi menciptakan kurang lebih seribu lagu, yang baru 100 lagu yang sudah direkam dan diedarkan. “Lagu-lagu itu adalah anugerah,” kata Syauqi.
Didikan Ulama
Ia sendiri tidak dididik menjadi seorang seniman. Ayahnya, Abdul Majid, seorang guru agama Kesultanan Deli, mengarahkannya menjadi seorang ulama. Abdul Majid seorang ulama yang tegas. Ia tidak memperkenankan Ahmad Baqi menjadi pemusik. “Kalau Atok menemukan biola ayah, pasti dihancurkan,” kata Ahmad Syauqi. Entah sudah berapa biola yang telah dihancurkan ayah Ahmad Baqi. Selain alat musik, pantalon (celana panjang) yang sering dikenakan Ahmad Baqi pun tidak diperkenankan oleh Abdul Majid. “Supaya tidak ketahuan, ayah sering main biola dulu jauh ke kebun,” kata Syauqi.
Tapi, didikan ulama itu justru membekas di syair-syair dan aliran musik yang dipilih Ahmad Baqi. Suatu hari ia berkonsultasi dengan seorang temannya, seorang ulama dan qari besar dari Sumut, H Azra’i Abdurrauf (Alm.). “Bagus juga kalau engkau ke sana (musik). Ada lagu-lagu yang bernafaskan Islam,” kata Azra’i kepadanya. Tak heran, bila pertemanannya dengan Azra’i ditambah ilmu dari ayahnya membuatnya fasih untuk menguasai qiraat Al-quran. Menurut Syauqi, kadang-kadang H Azra’i datang ke pondok Ahmad Baqi pada tengah-tengah malam. Mungkin, salah satu makna kata “sahabat” dalam goresan terakhirnya yang dikutip di awal tulisan ini, diperuntukkan bagi Azra’i.
Ironisnya, cuma satu penghargaan yang diterima Ahmad Baqi dari negeri sendiri. Itu pun datangnya dari mendiang H Raja Inal Siregar, mantan gubernur Sumut. Gubernur yang dikenal agamis itu, memberinya penghargaan Pembina Seni dan Budaya Sumatera Utara sebagai Komponis pada 5 April 1998. Setelah itu, pada tahun 2000, dilaksanakan Malam Kenangan Ahmad Baqi di Hotel Garuda Plaza Medan. Konon, di malam itu pemerintah akan menyelenggarakan malam kenangan untuk Ahmad Baqi setiap tahunnya. Tapi, ternyata tidak.
Agaknya, Ahmad Baqi semasih hidup seperti sudah sadar tentang nasib seniman. “Kami ini seniman, setelah dipusara baru dihargai. Kalau tidak anak aku, cucu aku yang menikmati,” kata Syauqi mengucapkan kata-kata Ahmad Baqi.
“Seribu Lagu Lagi”
Ya, seribu lagu. Itu lagu yang jadi, lengkap dengan partitur dan syair-syairnya. Tidak bisa dihitung berapa lagu yang sudah ditulis Ahmad Baqi ketika mulai mencipta lagu di sekitar tahun 1940-an. “Lagunya panjang-panjang, bisa 15 menit satu lagu,” kata Ahmad Syauqi, anak Ahmad Baqi yang menyimpan harta warisan Ahmad Baqi itu.
Bagi lidah pop dan dangdut, umumnya lagu-lagu Ahmad Baqi tidak gampang untuk dibawakan. “Cengkok atau dalam bahasa kita, greneknya, susah diikuti,” kata Syauqi lagi.
Syarat pertamanya, adalah menguasai “hawa”. Ini istilah yang diberikan Ahmad Baqi menunjuk pada nada-nada lagu Alquran yang lazim disebut qiraat. “Biasanya seminggu sekali mendiang mendapat lagu baru, kita disuruh ke rumah dan langsung belagu,” kata Sasmidar Effendi, salah satu vokalis yang sudah 30 tahun di orkes Ahmad Baqi.
Menurut Sasmidar, dalam berlatih lagu, Ahmad Baqi merupakan orang yang keras. “Tidak bisa main-main. Kalau tidak pas, kupingku sakit, katanya,” tutur Sasmidar lagi. Tapi, kalau sudah menguasai “hawa” itu, biasanya lagu-lagu Ahmad Baqi mudah dipahami. “Biasanya satu hari sudah dapat,” kata Mahanum, seorang vokalis orkes Ahmad Baqi juga.
“Hawa” ini berbeda dengan lagu-lagu dangdut maupun nasyid zaman sekarang. “Kalau seperti Raihan, itu cenderung ke pop,” kata Mahanum sambil mencontohkan dendang lagu Raihan dan Ahmad Baqi.
Riwayat merekam lagu-lagu Ahmad Baqi sudah lama. Dimulai ketika akhir dekade 1960-an, lagu “Selimut Putih” direkam di atas piringan hitam di Malaysia, dan mulai diperdengarkan di Indonesia melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Lagu itu langsung meledak, terutama di daerah ranah Melayu, seperti Malaysia dan Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur).
Lagu itu keluaran formasi pertama dari Orkes Ahmad Baqi. Pelantunnya langsung terkenal, seperti Nur Asiyah Jamil, M Nuh, dan M Thahir. Di tahun 1970-an, formasi Ahmad Baqi sudah berubah yang berisi nama-nama Asmidar Darwis, Atikah Rahman, M Thahir, dan Ruqiah Zein. Di formasi ini, melejit lagu seperti “Cita-cita”. Formasi ini cepat berkurang. Kebanyakan, personilnya dilirik orang ketika sedang manggung. Seperti Ruqiah Zein yang mendapat jodoh ketika manggung di Malaysia dan Atika Rahman yang dipinang oleh Ketua DPRD Sumut sekarang, H Abdul Wahab Dalimunthe. Asmidar Darwis pun tak luput dipinang orang.
Formasi terakhir berisi 14 personil, yaitu Sasmidar Effendi (vokal/biola), Khadijah Lubis (vokal/tamburin), Mahanum (vokal/biola), Wahyuni (vokal/biola), Zuberuddin (keyboard), Syahril Sa’I (drum), Ramli (Bass), Ahmad Ramadhan (gendang bonggo), Efan Edi (gitar), Ahmad Fauzi (tamburin), Ruslan Nasution (biola), Hj Faiziah Hanim (biola), Ahmad Syauqi, dan seorang vokalis muda Ifnifar Hasni.
Selain mereka, entah siapa lagi penerus seribu lagu Ahmad Baqi.
* * *
Tulisan ini dibuat pada Desember 2005 lalu.
Dikutip seluruhnya dari:
http://nirwansyahputra.wordpress.com/2008/02/17/seribu-lagu-ahmad-baqi
Kami mohon ma'af kepada yang empunya tulisan karena rasa cinta yang besar kami kepada Almukarram (Ayahanda) Prof. H. Ahmad Baqi ---ALLAHUMMAGH FIRLAHU WARHAMHU---, beberapa koreksi terpaksa kami lakukan terutama pada nama Asmidar Darwis dan Nur Asiah Djamil.
YA ALLAH DARI LUBUK HATI INI YANG PALING DALAM, TERHANTAR SEBAIT DO'A KEPADA ORANG TUA KAMI YANG TELAH BERJASA IKUT MENDAKWAHKAN AGAMA-MU "TEMPATKANLAH BELIAU DI SISI-MU, BERILAH SULUH DI KUBURNYA, DAN AMPUNAN DARI MU SANGAT KAMI DAMBAKAN"
Amin Ya Rabbal 'Alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar