Tutorial

Rabu, 12 Januari 2011

Willem Iskandar; tokoh pendidikan yang trlupakan?

Willem Iskandar, seorang tokoh pendidikan berskala nasional, jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, beliau sudah mendidirikan lembaga pendidikan untuk menghasilkan guru-guru, yang berbasis kerakyatan (1862). Selain seorang seniman, penulis dan tokoh publik pada massa itu, beliau juga seorang cendikiawan pertama dari tanah Batak yang menempuh pendidikan formal hingga ke Netherland (tahun 1857). Williem Iskandar dilihat dari study literature dicerminkan sebagai seorang tokoh yang sederhana walaupun secara genetic beliau adalah darah biru.
Dalam sejarah pendidikan nasional, nama Willem Iskandar tercatat secara local tidak banyak yang mengetahui sejarah beliau secara nasional bahkan di sumatera utara pun banyak yang tidak mengenal sosok yang satu ini. Mungkin penyebabnya nama beliau tidak dimasukkan dalam kurikulum sejarah nasional sebagai seorang pahlawan nasional.

Siapakah Willem Iskandar?
WILLEM ISKANDAR, Seorang putera raja, budayawan sekaligus sastrawan yang aktif berjuang menanamkan dasar-dasar semangat pembaharuan di bidang pendidikan ala Barat dan pemikiran yang pragmatis. Sebagai penyair ia disebut-sebut 60 tahun mendahului Pujangga Baru. Pantunnya tak terikat oleh bentuk sajak tertentu. Pada tahun 1978 ia mendapatkan penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Willem Iskandar lahir pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Tapanuli Selatan. Nama kecilnya Sati, ia anak bungsu Raja Tinating, Tapanuli Selatan. Sati mendapat pendidikan ala Barat di Sekolah Rendah Panyabungan. Sekolah ini didirikan Alexander Philipus Godon, seorang berkebangsaan Belanda yang bertugas sebagai kontrolir atau asisten presiden di Mandailing. Sebagai kontrolir ia harus menjalin hubungan baik dengan Raja Tinating agar tugasnya lancar. Sekolah Panyabungan itulah yang digunakan Godon untuk mendapatkan perhatian raja-raja setempat. Guru-gurunya terdiri dari orang-orang Melayu.
Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang isteri yang melahirkan raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menjadi raja di Hutasiantar dengan kedudukan yang sama dengan dirinya.

Isteri kedua, boru Hasibuan dari Lumbanbalian yang melahirkan empat orang putera yang kelak menjadi raja. Mereka adalah Sutan Panjalinan raja di Lumbandolok, Mangaraja Lobi raja di Gunung Manaon, Mangaraja Porkas raja di Manyabar dan Mangaraja Upar atau Mangaraja Sojuangon raja di Panyabungan Jae. Isteri ketiga, boru Pulungan dari Hutabargot yang melahirkan dua orang putera, ialah: Mangaraja Somorong raja di Panyabungan Julu dan Mangaraja Sian raja di Panyabungan Tonga.
Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing raja di Pidoli Dolok.
Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan menyusul pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah tersebut terhadap Baginda Mangaraja Enda. Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap ayahandanya itu. Sementara itu raja- raja yang berontak eksodus bersama sebagian rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.

Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Pertama, Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing Angkola, 1848-1857,
Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang kl. 90 kilometer. Kedua, Sutan Muhammad Natal, yang banyak disebut Multatuli di dalam Max Havelaar dengan nama Tuanku Natal, seorang raja Natal yang muda dan cerdas, sahabat karib Multuli ketika menjabat Kontrolir Natal (1842-1843). Ketiga, Sati gelar Sutan Iskandar ialah tokoh kita, Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840. Tuanku Natal dan Willem Iskander adalah cucu langsung dari Sutan Kumala Porang, raja Pidoli Lombang.
Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Godon di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar